Setelah kubuktikan pada Sri di kamar kerjaku tentang arti selingkuh yang sebenarnya sesuai judul penelitian karya ilmiahnya, kami memang sepakat untuk mengulanginya kembali dalam waktu singkat di tempat yang lebih memberi ruang keleluasaan. Hanya berselang sepekan, tepatnya Hari Sabtu Sore, aku ke rumah Sri setelah sebelumnya Sri menelponku agar datang ke rumahnya menerima seluruh biaya penyusunan karya ilmiahnya meskipun penyusunannya belum tuntas 100%. Istriku yang menerima telpon itu nampak gembira dan meminta saya agar segera ke rumah Sri menerima uangnya, apalagi istriku saat itu sangat membutuhkan uang belanja.
"Silahkan masuk kak, pintunya tidak terkunci kok" teriak Sri dari dalam rumah setelah aku mengetuk pintu rumahnya.
Ia seolah menunggu dan lebih dahulu melihat kedatanganku.
"Selamat sore Sri" ucapanku setelah kubuka pintu rumahnya.
"Silahkan duduk kak, tidak usah malu-malu. Saya hanya sendirian kok" kata Sri setelah aku berdiri di ruang tamunya seolah ia sengaja agar aku tidak segan-segan bertindak dan berbicara dengannya.
"Ke mana semua keluarga Sri? Kok kamu berani sendirian di rumah?" tanya aku ketika sedang duduk di kursi sofanya yang empuk itu.
"Mereka semua jenguk nenek yang sedang sakit di kampung kak," katanya.
"Tapi adik Sri memang terbiasa ditinggal sendirian di rumah?" tanyaku.
"Wah itu soal biasa kak. Khan nggak ada yang ditakutkan sebab di sini cukup aman, lagi pula di lingkungan ini cukup ramai" jawabnya lagi.
Setelah aku berbincang panjang lebar soal umum dan soal pribadi Sri serta keluarganya sambil menikmati hidangan kue yang sejak tadi menunggu di atas meja, Sri lalu memandangku dengan tajam, lalu mekangkah ke dekat pintu dan menguncinya rapat-rapat. Aku hanya terdiam sambil memperhatikannya. Dalam hati kecilku bertanya ada maksud apa Sri memanggilku ke rumahnya setelah kedua orangtua dan keluarga lainnya di rumah itu sedang tidak ada. Jangan-jangan ia menipuku atau ingin melanjutkan peristiwa singkat dalam kamar kerjaku minggu lalu itu.
"Kak, kita ke atas yuk, di sini nggak aman dan bebas kok, sebab sedikit-sedikit ada tamu yang datang jika mereka ketahui ada orang di dalam rumah. Maklum bapak khan pengusaha yang luas jaringannya" kata Sri lembut sekali setelah menutup pintu dan mencabut kabel telpon rumahnya dari pesawatnya.
Ia segera menarik tanganku dan menuntunku ke lantai atas rumahnya di mana kamar belajarnya berada. Aku hanya menuruti apa yang dimintanya, lagi pula aku senang dan gembira mau terima uang dari Sri, yah syukur-syukur jika ia bersedia memberi bonus khusus buatku.
Setelah aku dipersilahkan duduk di kursi yang ada dalam kamarnya, Sri lalu duduk di atas rosbannya yang cukup rapi dan tertata dengan seprei berwarna biru yang dihiasi sulaman kembang berwarna kuning emas. Baunya yang harum menyengat ke hidungku hingga aku terpesona dan sedikit menikmati suasana damai, tenang dan bahagia dalam ruangan itu seolah mengingatkanku di malam pertama ketika aku masih pengantin baru.
Sore itu aku hanya termangu memperhatikan suasana yang ada dalam kamarnya tanpa aku banyak bicara. Sesekali memperhatikan tubuh Sri yang terbungkus baju warna putih dengan celana kain setengah panjang yang agak tipis namun indah dan bersih sekali lagi harumnya yang tidak mau hilang di hidungku. Aku sangat berat, segan dan malu diperlakukan seperti raja oleh Sri, apalagi selaku orang yang punya istri, tentu takut bertingkah macam-macam di depan Sri yang serba istimewa.
"Sri, aku tidak bisa lagi menggambarkan bagaimana perasaanku saat ini berada dalam kamar bidadari. Sungguh aku mempunyai keberuntungan luar biasa bisa kenalan dan berhubungan dengan adik. Aku diperlakukan seperti raja diraja. Aku sangat menyesal kawin terlalu cepat" ucapanku mengagumi segala apa yang kurasakan saat itu.
Mendengar ucapanku itu, Sri hanya menatapku tajam sambil tersenyum sesekali pandangannya turun ke arah selangkanganku. Aku bisa membaca maksiud isi hatinya, tapi aku tetap pura-pura bersikap pasif. Sri seolah tidak memperlihatkan rasa malu, segan dan takut lagi di depan saya setelah ia mengetahui kebejatan moral saya. Bahkan nampak ia lebih berani dan lebih aktif di depanku.
"Kak, aku tidak pernah menyangka bisa menikmati hubungan sex bersama dengan orang yang selama ini kukagumi. Aku sebenarnya bahagia tapi sekaligus menyesal karena kehormatan dan keperawananku terpaksa kuserahkan dan dinikmati oleh suami orang lain yang tidak mungkin bisa kumiliki sepenuhnya. Padahal pria yang kusayangi selama ini berkali-kali mendesak dan meminta tapi aku tetap mempertahankannya dengan alasan melanggar norma-norma agama, nanti setelah nikah dan berbagai macam alasan lainnya. Kenapa ini terjadi Kak dan kenapa bukan pada saat Kak masih bebas menentukan pilihan? Kenapa kak, kenapa dan kenapa.." tiba-tiba Sri berbicara terbuka, panjang lebar dan penuh dengan kesedihan.
Dengan suara tangis terisak-isak yang ditandai air mata membasahi pipinya, aku yakin Sri sangat menyesal dan tidak mampu menolak keinginan bejatku ketika aku menunjukkan bukti perselingkuhan di kamarku ketika itu. Ia berkali-kali berteriak mempertanyakan nasibnya sambil memeluk dan mencium pipiku sehingga bahu dan pipiku juga ikut basah oleh air matanya.
"Sri, aku mohon maaf Dik sayang. Aku khilaf ketika itu dan aku terlalu bernafsu melihat kecantikanmu. Apalagi sikap kelemah lembutanmu di depanku membuatku terangsang, karena hal seperti sulit kudapatkan dari istriku yang sedikit keras dan kasar sikapnya. Sekali lagi maaf dik, aku juga ikut menyesali sikapku yang kurang ajar dan kurang mengerti diri. Maukah kamu memaafkan kesalahanku sayang..?" kataku menyampaikan rasa penyesalanku sambil mengelus rambut dan pipinya yang masih bersandar ke bahuku.
Cukup lama kami saling merangkul. Namun di sela-sela rangkulan itu, kami seolah tersengat seteron listrik. Kami bukan menyesali dan menghindari terulangnya peristiwa itu, malah kami saling berpagutan tanpa kuketahui siapa yang memulai. Sri lahap sekali mencium dan mengisap bibir dan lidahku. Akupun memberikan sambutan yang sama. Tangan kami saling bergerak lincah menggerayangi tubuh masing-masing secara berlawanan. Kali ini, sedikitpun tidak ada rasa malu, ragu dan takut ada orang lain yang mengetahuinya, sebab pintu rumah Sri terkunci rapatb dan kamipun berada di lantai atas sehingga suara kami sulit terdengar oleh orang lain sekalipun kami berteriak keras.
Meskipun aku sedikit sadar dan mengingat apa yang baru kami sesali, namun aku sengaja tidak mau mengingatkan Sri, sebab aku lagi senang dan juga hal seperti ini sudah terlanjur kami lakukan. Tanpa kusadari, Sri sudah membuka kancing bajuku dan melepaskan dari tubuhku. Ia menyerang sangat lincah dan seolah lupa segalanya. Ia menyapu seluruh tubuhku dengan ciuman dan jilatan, mulai dari wajah, dagu, leher, bibir dan mulut hingga ke pusar. Tangannya sangat aktif merangkul dan meraba-raba tubuhku hingga masuk ke selangkanganku dari atas ke dalam celanaku. Akupun tidak mampu menahan tangan yang sejak tadi bergerak-gerak ingin memegang benda-benda kenyal dan langkah ditemukan di pasaran yang ada pada tubuh Sri. Meremas-remas kedua payudara Sri yang masih keras dan ukuran sangat sederhana, membuka kancing baju dan BH serta mengelus-elus kelentit Sri yang mungil lagi keras adalah menjadi aktifitas khusus kedua tangan saya tanpa komando dari siapa-siapa. Semua ini kami lakukan dalam keadaan berdiri di depan tempat tidur Sri.
"Kak, cepat kak. Aku sudah tak tahan lagi. Ayo Kak cepat," bisik Sri berkali-kali di dekat telingaku.
Nafasnya terasa hangat sekali dipipiku.
"Sabar sayang, aku akan memberikan kenikmatan luar biasa hari ini. Kali ini kita bebas, aman dan tak ada gangguan sedikitpun untuk menikmati segalanya. Sabar sayang.. Aku pasti memuaskanmu" bisikku sambil melonggarkan ikat pinggangku agar Sri mudah memasukkan tangannya.
Sri nampaknya tidak sabar lagi. Ia kali ini menurunkan celanaku lalu menarikku naik ke atas tempat tidur setelah aku betul-betul telanjang bulat. Aku turuti saja kemauannya, bahkan setelah ia duduk di pinggir tempat tidur, aku segera menarik celananya turun hingga terlepas semua dari tubuhnya. Kini kami berpelukan dalam keadaan bugil tanpa sehelai kainpun di tubuh kami. Aku merebahkan tubuhnya ke atas kasur dengan kedua kaki tetap tergantung namun kedua pahanya agak terbuka, sehingga terlihat dengan jelas vaginanya yang basah, bersih dan agak montok, bahkan biji yang tumbuh di sela-sela lubang kemaluannya itu nampak menantang dan indah.
"Ayo kak, masukkan cepat kak. Aku ingin sekali menikmati burungmu itu. Aku sangat ketagihan. Cepat kak, ayo kak," kembali Sri meminta aku memasukkan penisku ke dalam kemaluannya yang sudah basah dan sedikit terbuka itu.
Berkali-kali ia memintaku dengan nafas terengah-engah seolah sesak. Bahkan kali ini ia meraih penisku dan menuntun ke arah memeknya, tapi aku tetap menahannya dan mermbiarkan ia semakin penasaran agar kami bisa bermain lebih lama di kamarnya. Berkali-kali pintu rumahnya terdengar diketuk-ketuk orang, tapi Sri tetap tidak peduli. Ia yakin kalau itu hanya tamu bapaknya, sementara bapaknya besok baru pulang karena baru tadi siang berangkatnya. Ia konsentrasikan dirinya pada kenikmatan yang ia harapkan segera kuberikan. Setelah aku puas memainkan lidah, bibir dan mulutku pada seluruh tubuhnya, terutama pada rongga mulut, payudara dan rongga kemaluannya, lalu secara pelan-pelan ujung penisku menyentuh bibir vaginanya, sehingga pinggulnya terangkat-angkat secara otomatis dan sesekali merangkul pinggulku dan menariknya turun, namun tetap kupertahankan untuk tidak terburu-buru.
Karena lincahnya menggerakkan dan memutar pinggulnya kiri kanan, maka pertemuan kedua benda asing itupun sulit dihindari. Bahkan secara tidak sengaja kepala penisku masuk dan nempel ke lubang vaginanya bagaikan ditarik oleh sebuah magnit. Akupun rasanya sulit lagi memancing dan menarik keluar, sehingga perlahan tapi pasti ujung penisku menyelusup masuk sedikit demi sedikit hingga amblas seluruhnya. Gerakan refleks pinggul kami secara otomatis berputar dan maju mundur mengikuti aliran kenikmatan yang kami rasakan masing-masing. Suara desiran dan lenguhan dari mulut kami berdua tidak bisa lagi tertahankan sebagai pertanda kami mengalami kenikmatan yang tiada taranya.
"Auh.. Uuuhh.. Ssstt.. Aduhh.. Aakhh.." suara itulah yang senantiasa mewarnai kesunyian dalam ruangan itu. Untungnya suara kami tidak dapat terdengar oleh tetangga Sri, sehingga keluar secara bebas mengikuti alur kenikmatan tanpa kami mengontrolnya.
"Kak, aku nikmat sekali. Gocok terus kak. Jangan berhenti, aduhh.. Ahkhkh.. Uhh.. Mmmhh" ucapan Sri ketika aku semakin mempercepat gerakan pinggulku dan sesekali berhenti sejenak karena capek.
Namun, gerakan maju mundur sulit sekali kami lakukan karena kedua kaki Sri melingkar kepunggungku dengan eratnya, sehingga aku hanya mampu memutar kiri kanan. Tangan Sri terus merambah ke seluruh tubuhku, bahkan terkadang menjambak rambutku. Sementara tanganku juga bergerak terus mencari sasaran yang lebih nikmat. Kadang meremas-remas kedua payudara Sri dengan kerasnya dengan maksud agar Sri mau menurunkan kedua kakinya yang melingkar, tapi tetap saja seolah sudah diikat.
"Kak, rasanya aku mau keluar. Aku tak mampu menahan lagi. Biar yah kak? aahh.. Ukhh.. Iiihh.. Mmmhh.. Aaakhh" kata Sri dengan suara seolah tidak ditahan-tahan lagi.
Aku hanya mengangguk sebagai tanda persetujuanku. Ia sedikit berteriak ketika aku berusaha mendorong keras penisku sehingga terasa menyentuh benjolan daging dalam rahimnya. Bersamaan dengan gerakan cepat dan kerasku itu, sekujur tubuh Sri terasa gemetar. Tangannya dengan keras menjambak rambutku serta mencakar-cakar punggungku. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena saat itu pula kurasakan ada cairan hangat menyelimuti seluruh batang penisku, lalu ia melepaskan jepitan kedua kakinya di punggungku dan jatuh dengan lemas ke lantai bersamaan dengan melemasnya seluruh tubuhnya. Aku kira ia pingsan, tapi setelah kurasakan nafas dan detak jantungnya yang keras, aku yakin kalau ia hanya capek dan setengah sadar akibat kenikmatan.
Ke bagian 4 Setelah Sri tidak berdaya lagi, aku berdiri lalu mengangkat kedua kaki Sri ke atas tempat tidur sehingga terlentang, meskipun penisku belum menumpahkan cairan kenikmatan yang kental, namun aku biarkan saja dulu Sri istirahat karena waktu masih panjang yakni baru jam 7.30 malam. Kami berada di rumah itu sekitar 3 jam lebih. Alasan keterlambatanku pada istri, bisa kupikirkan sebentar setelah aku menyelesaikan tugas utamaku di kamar Sri. Sambil Istirahat, aku membakar sebatang rokok, biar lebih santai dan sedikit bijaksana pada Sri yang terlalu capek.
Sepuluh menit kemudian, aku semakin penasaran ingin merasakan nikmatnya jika penisku masuk dan memuntahkan peluru ke dalam vagina Sri. Aku sengaja bermaksud memuncratkan spermaku ke dalam vagina Sri karena pengalamanku menunjukkan lebih nikmat dibanding muncrat di luar, apalagi aku tidak takut dibuahi oleh zat telur Sri, karena ia sudah keluar duluan. Karena itu, niatku hanya memuaskan diriku sendiri dengan cepat setelah Sri mengalaminya, agar ia tidak tambah capek lagi.
"Maaf kak, aku tertidur. Kukira Kakak juga tidur. Aku betul-betul tidak sadar tadi. Mungkin karena terlalu dibuai kenikmatan" kata Sri padaku ketika ia terbangun dan melihatku memainkan puting susunya dengan mulut dan tanganku secara bergantian.
Aku sangat terangsang memandang seluruh lekuk-lekuk tubuhnya yang telanjang bulat sejak tadi sambil mengisap rokokku. Setelah Sri memeluk tubuhku dan mencium pipiku, ia bertanya:
"Apakah Kak juga merasa puas seperti aku?" tanya Sri serius.
"Aku puas menikmati tubuhmu dik, cuma aku belum sampai ke puncaknya" jawabku sambil memeluk Sri dan meletakkan paha kananku menindis vagina montoknya yang belum banyak ditumbuhi bulu-bulu itu.
"Jadi Kak mau lanjutkan untuk menuju ke puncak sekarang" tanya Sri sambil tersenyum, lalu kembali memelukku dengan erat.
"Sebelumnya aku mohon maaf Dik Sri. Banyak sekali teknik dan gaya sex yang ingin kutunjukkan padamu, tapi kulihat Sri sudah terlalu capek dan sudah cukup menikmati perselingkuhan kita hari ini, maka aku rasa adik tidak keberatan jika ronde kedua ini hanya untuk kenikmatan pribadiku" kataku hati-hati pada Sri agar ia tidak tersinggung.
"Terima kasih Kak atas kebijaksanaannya. Aku justru senang dan merasa berkewajiban melayani Kak hingga puncak kepuasan. Masa sih aku senang sendiri membiarkan Kak pulang dengan rasa penasaran tanpa kesan puas" kata Sri pasrah, bahkan merasa berkewajiban untuk memuaskanku.
"Terima kasih Dik atas kesediaannya, mm.. Cup.." kataku lalu mengecup bibirnya berkali-kali sebagai tanda kegembiraanku.
Burung kenikmatanku yang berdiri mengacung sejak tadi, seolah memaksa tanganku untuk membalikkan tubuh Sri ke posisi nungging. Sri pun pasrah menerima tindakanku. Namun karena ia masih lemas, ia hanya bisa rapatkan wajahnya ke kasur dengan pantat diangkat tinggi-tinggi. Kali ini aku tidak banyak mempermainkan tubuhnya, karena aku memang tidak bermaksud memuaskannya. Kebutuhanku cuma satu yaitu menumpahkan spermaku ke dalam vaginanya. Penisku yang berdiri keras segera kuarahkan masuk ke lubang vaginanya dari belakang dan ternyata bisa masuk dengan mudah karena posisi pinggulnya terangkat tinggi-tinggi lagi pula masih sedikit basah sebab belum sama sekali ia melapnya sejak peristiwa yang baru ia alami.
"Kak, agak sakit kak. Aku kurang enak melakukan posisi seperti ini. Gimana kalau Kak tidur terlentang lalu aku yang aktif menduduki burung kak? Nggak keberata khan?" tawaran Sri seolah tidak suka nungging.
"Tidak masalah dik. Posisi apa saja asalkan Kak bisa muncrat" kataku sambil mengeluarkan penisku dari dalam vaginanya dan terus tidur dengan sedikit mengganjal pinggulku dengan bantal kepala agar posisi penisku bisa lebih ke depan dan terasa lebih panjang masuk ke vaginanya.
Sri mulai mengangkangiku sambil menguak kedua bibir vaginanya dengan kedua tangannya, sementara aku membantu mengarahkan penisku agar lebih mudah masuknya. Ternyata betul, tanpa kesulitan sedikitpun, penisku masuk menyelusup damn amblas seluruhnya. Aku tidak tahu apakah Sri juga bisa merasakan kenikmatan atau tidak, tapi aku merasa nikmat sekali. Penisku terasa seolah dipijit dan diurut oleh sesuatu benda halus dan hangat.
Loncat-loncat sambil memutar pinggulnya nampaknya sudah jadi aktifitas khusus bagi Sri saat itu. Kepalanya melenggok kiri, kanan, maju dan mundur dengan rambut terurai. Nafas terengah-engah pertanda capek. Aku hanya membantu dengan mengangkat pinggul mengiringi gerakan pinggulnya. Sri nampaknya memaksa kekuatannya untuk memuaskanku semakin lama semakin cepat gerakannya. Beberapa menit kemudian, aku mulai ada tanda-tanda mau muncrat. Terasa dari cairan hangat mulai mendesak keluar seolah mengiringi aliran darahku. Tubuhku mulai mengejang yang dibasahi keringat.
Semakin lama, semakin cepat dan semakin keras gerakan Sri, rasanya semakin mengejang pula seluruh saraf-saraf kenikmatanku. Cairan hangat yang terasa dari ujung perutku semakin sulit ditahan dan dibendung, apalagi aku tidak bermaksud menahannya sebab itulah yang ketunggu-tunggu sejak tadi.
Suara "Auh.. Uuukkhh.. Aiihh" itulah yang senantiasa terdengar dari mulutku, sementara Sri hanya terdiam, namun tidak pernah berhenti bergerak dan bergoyang pinggul di atasku.
"Sri, terus, cepat, semakin keras lagi, ayo terus," pintaku dengan napas terputus-putus pada Sri.
Namun baru aku mau minta izin pada Sri agar aku bisa keluarkan spermaku ke dalam vaginanya, sperma itupun tumpah dengan sendirinya tanpa bisa lagi ditunda setapak pun. Bersamaan dengan itu, aku mengangkat pinggulku dan kepalaku untuk merapatkan tubuhku pada Sri dan meraih kedua payudaranya yang loncat-loncat dengan indahnya sejak tadi serta menarik-nariknya dengan keras. Namun Sri membiarkanku, bahkan ia mulai juga melenguh seolah merasakan suatu kenikmatan. Baru aku mau melemaskan seluruh otot-ototku yang sejak tadi kejang-kejang akibat kenikmatan luar biasa, tiba-tiba Sri menyelusupkan tangannya masuk ke selangkangannya dan memegang penisku yang sedikit mulai loyo seolah ia belum mau keluarkan dari vaginanya. Aku tersentak kaget, karena aku tidak bermaksud membebaninya dengan kenikmatan lagi, apalagi jika sampai terangsang lagi. Bisa-bisa zat kelaminku dibuahinya.
Setelah kuyakini kalau Sri juga mulai terangsang, aku justru khawatir ia bisa kecewa jika tidak bisa sampai ke puncaknya. Aku sama sekali tidak menyangka hal itu bisa terjadi di saat-saat kekuatanku habis terkuras. Aku tidak memiliki lagi modal untuk memuaskannya. Untung saja aku bisa sedikit memaksa agar penisku bertahan di tempatnya mumpun masih ada sisa-sisa cairan di dalamnya sehingga masih sedikit berdiri. Aku membantunya memegang terus dan tidak banyak bergerak agar tidak terlepas dari mulut vaginanya.
Dengan bantuan jari tengahku, aku gerak-gerakkan penisku ke dalam vaginanya dan ternyata Sri bisa menikmatinya. Untung saja Sri sudah berada di ambang pintu kenikmatan sehingga aku tidak perlu terlalu lama memainkan tanganku, apalagi ada kekhawatiran Sri akan kecewa jika aku berhenti tanpa ia puas. Iapun merapatkan wajah dan tubuhnya di atas dadaku sebagai tanda kepuasannya. Aku kembali lega dan bahagia karena ia bisa kembali merasakan kenikmatan kedua kalinya.
Setelah kami bangkit dari tempat tidur itu dan selesai membersihkan kemaluan kami, bahkan mandi bersama dalam kamar mandi khususnya, aku lalu kembali duduk di kursi. Sementara Sri duduk di atas pangkuanku sambil melingkarkan tangannya ke leherku dalam keadaan kami masih bugil
Entah bagaimana pikiran Sri ketika itu, tapi aku tak pernah berhenti memikirkan kalau-kalau Sri hamil, apa jadinya nanti. Kami bisa malu seumur hidup, apalagi jika ketahuan orang banyak.
"Kak, kenapa termenung? Apa Kak kecewa dan tak puas atas layananku tadi atau menyesal memenuhi panggilanku ke sini?" tanya Sri saat aku terdiam sejenak memikirkan akibat perbuatan kami. Teguran Sri membuatku kaget.
"Tttitidak, aku hanya takut kamu tidak puas dan kecewa tadi" alasanku.
"Saya tahu yang Kak pikir, pasti takut aku tidak bayar biaya penyusunan karya ilmiah itu, yah khan?" kata Sri mencoba menebak isi pikiranku.
"Bukan itu dik, aku sama sekali tak pikir ke situ. Lagi pula aku berat dan malu memikirkan hal itu setelah Sri memberiku segalanya" kataku.
"Lalu apa yang Kak pikirkan? Jangan-jangan Kak takut dimarahi istrinya. Jangan khawatir kak, khan masih belum larut malam. Kak bisa buat alasan yang bisa meyakinkan istrinya. Masa sih dekat istri Kak bisa selingkuh denganku, lalu hanya soal pulang terlambat tidak bisa diakali" katanya.
Setelah puas bercumbu rayu di atas kersi, kami lalu sama-sama bangkit dan mengenakan pakaian. Setelah itu, Sri menarik laci mejanya dan mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya lalu menyodorkanku. Setelah beberapa kali kutolak dan kusampaikan rasa beratku, akhirnya aku ambil juga uang itu setelah aku tak berdaya menolaknya. Setelah kuhitung, justru lipat dua kali lebih banyak dari kesepakatanku semuka. Aku berusaha mengembalikan sisanya, tapi ia tetap memaksaku mengambilnya. Berkali-kali kuucapkan terima kasih dan berjanji akan mengenang jasa-jasa baiknya itu, tapi ia hanya senyum, lalu berkata:
"Kak, tolong jangan menolak pemberianku. Aku memberimu itu semata-mata karena bahagia, senang dan bangga bisa menikmati sex pertama kali dari pria yang sebenarnya sangat kukagumi, apalagi mau membantu dalam proses penyelesaian kesarjanaanku. Malah itu belum cukup kak" katanya padaku.
Kami saling berjanji akan memperaktekkan semua posisi sex di lain waktu dan sebelum aku pamit, ia memintaku agar aku menemaninya malam itu agar kami bisa mengulangi hubungan sex kami beberapa kali lagi. Tapi setelah kuutarakan resikonya pada istriku, akhirnya ia mengerti dan mengizinkan aku pulang agar perselingkuhan kami tidak bocor. Bahkan sebelum aku keluar dari pintu rumahnya, ia sempat menciumku dan berkata:
"Kalau aku hamil atau tidak ada laki-laki yang mau mengawiniku akibat hubungan kita ini, apa Kak mau tanggungjawab mengawiniku?" tanya Sri seolah main-main karena ia ucapkan sambil tertawa.
Namun hal itu bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Setelah aku kaget dan merenung sejenak:
"Apa boleh buat dik, itu namanya resiko yang dipertanggungjawabkan. Mudah-mudahan tidak terjadi dik, malah aku akan tanggungjawab carikan jodohnya dengan cepat ha.. Ha.. Ha," jawabku sambil ketawa lalu pergi.
Setelah aku sampai di rumah, aku langsung menyerahkan uang itu pada istriku dan ia gembira sekali karena jumlahnya melebihi kebutuhan mendesaknya. Iapun sempat bertanya soal keterlambatanku pulang, namun seolah tak serius. Aku hanya beralan kalau ayahnya Sri memintaku bincang-bincang soal kemudahan penyelesaian kesarjaan anaknya, meskipun semua itu kebohongan belaka agar ia tidak curiga. Aku lalu ke tempat tidur dan aku memang tidur dengan pulas karena kelelahan.
*****
Bagi teman-teman yang tertarik kisahku ini, silahkan ikuti terus lanjutan kisah seruku bersama Sri, karena hal ini nampaknya agan berlanjut beberapa kali lagi atau jika mau kenalan denganku, dapat menghubungi emailku.
E N D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar